Click here to go to blog index

“Postmodernisme dan etika ber-estetika

dalam ber-arsitektur”

 

oleh : A. Rudyanto Soesilo.·

Pendahuluan :

Dalam pengantar Seminar ini dijelaskan tentang Saatnya pencerahan dalam berarsitektur, dengan berpedoman pada peribahasa Jawa anonim, Hamemayu Hayuning Buwana, bahwa setiap manusia sesuai kodratnya sebagai makhluk bermartabat, mempunyai tujuan hidup untuk membuat dunia semakin cantik. Renungan dari filsuf abad Pertengahan, Thomas Aquinas : Pulchrum spendor est veritatis, Keindahan adalah pancaran dari Kebenaran, dan pendapat para pakar bahwa estetika dalam arsitektur, hadir dengan sendirinya karena arsitektur dirancang atas dasar Kebenaran. Yang benar itulah yang estetis. Bertolak dari sini perenungan kita dimulai tentang ketiga buah pikir yang membahas tentang : Estetika, kebenaran dan Arsitektur, serta penerapannya dalam etika berarsitektur.

 

E.s.t.e.t.i.k.a.  :

Menurut Melvin Rader, dalam membahas Estetika dan Seni, lebih tepat untuk dibahas secara menyeluruh yaitu [1]:

The Creative Process

–Imitation & imagination * Imaginative satisfaction of desire

–Expression of emotion            * Enhancement of experience

–Intuition – Expression  * Embodiment of values

The esthetic artifact

–The work of art

–Form

–Expressiveness

Esthetic experience, the response to the esthetic object

–The experience of the beholder

–The response of the critic

–The response of the community

 

dengan demikian, pembahasan tentang Seni dan Estetika membahas sekaligus Proses kreatifnya, bendanya (artefak) dan juga Pengalaman Estetis yang terjadi.

 

Misalnya pembahasan tentang arti  “Keindahan” yang senantiasa bergejolak sesuai dengan gejolak pemikiran para pemikirnya, Plato menganggap Keindahan datang dari dunia Idea, sementara muridnya Aristoteles merasa bahwa Keindahan ada dalam diri benda  itu sendiri, sesuai dengan pemahaman pada era Resanissance. Pada era Aufklarung terjadi Subyektivikasi, Keindahan justru ada dalam diri Manusia penikmatnya, ditandai dengan munculnya pengertian Faculty of Taste, Sense of Beauty, Beauty is in the eye of the beholder[2]Subyektifitas ini diperkuat pada era Modern yang memunculkan nuansa Meta-narrative legitimasi Kebenaran Tunggal yang Universal. Di Arsitektur dikenal dengan munculnya International style yang mendunia. Berkembangnya pemikiran Postmodernisme tahun 1970an ikut merubah konsep tentang Estetika. Postmodernisme yang Plural dan anti Meta-narasi merombak monopoli keindahan dan berbagai kategorisasi keindahan. Postmodernisme juga menyibak penghambat yang selama ribuan tahun mengkotak-kotakkan Seni dalam kurungan-kurungan masing-masing, baik dalam konteks materi seninya, proses berseninya, pemahaman para penikmatnya, klas-klas para penikmatnya serta nilai materi dan finansialnya. Postmodernisme membawa kesuatu pemahaman baru yang berbeda dengan sebelumnya.

 

 

Landasan Ontologi Estetika :

Estetika merupakan salah satu buah pikir umat manusia, sebagai bagian dari keseluruhan sistem Filsafat yaitu bidang Aksiologi, tentang tata nilai dalam hidup. Dalam pergolakan pemikiran umat manusia, maka Aksiologi berfluktuasi, sesuai pemahaman konsep-diri manusia dalam Ontologi (pemikiran tentang “Ada”). Ontologi sendiri  bergejolak dari pemahaman yang Kosmosentris, ke Teosentris, kenudian ke pemahaman Anthroposentris, yang melahirkan Modernisme dan kemudian ke pemahaman Logosentris yang melahirkan Postmodernisme[3]. Dari pemahaman tentang”Ada” yang berbeda, pemahaman tentang persepsi dan konsep diri manusia yang berbeda, lahirlah kemudian konsep tata laku, tata kehidupan yang berbeda pula, termasuk didalamnya Estetika dalam ranah Aksiologi.

 Kalau kita menelaah naskah pengantar Seminar ini , yang menjelaskan tentang : Saatnya pencerahan dalam berarsitektur, maka kita terbawa kepada istilah “mencerahkan” yang mengingatkan kita akan “Pencerahan” suatu istilah yang membawa kita ke era “aufklarung” atau “enlightenment”, yang merupakan suatu era dalam episode Ontologi berfikir manusia. Yang menghantarkan manusia ke suatu Kesadaran baru yang kemudian disebut Anthroposentris dan melahirkan Modernisme.

Kemudian kita terbawa ke peribahasa Jawa anonim, Hamemayu Hayuning Buwana, bahwa setiap manusia sesuai kodratnya sebagai makhluk bermartabat, mempunyai tujuan hidup untuk membuat dunia semakin cantik. Peribahasa ini membawa kita ke pemikiran Ontologis yang dikenal dengan Kosmosentrisme[4]. Dalam alam fikir ini manusia sebagai Jagad cilik atau Micro-cosmos senantiasa dituntut bersikap harmoni penuh keselarasan dengan alam sebagai Jagad gedhe Macro cosmos. Keindahan lalu menjadi bagian dari ritual untuk menyelaraskan diri dengan Alam, agar si manusia mendapat keselamatan, aman dan sentosa. Tugas si manusia lalu adalah memelihara alam, Hamemayu Hayuning Buwana.

 

 

 

 

 

 

Renungan filsuf abad Pertengahan, Thomas Aquinas : Pulchrum spendor est veritatis, Keindahan adalah pancaran dari Kebenaran, membawa kita ke alam pemikiran dengan Ontologi Teosentrisme. Dalam alam fikir ini kekuasaan bukan lagi ditangan alam, tetapi ditangan Zat lain, bukan alam bukan manusia , ialah Sang Teos. Nasib si manusia terletak dalam genggaman Sang Teos, sehingga segala kegiatan ber-estetika tertuju kepada pemujaan kepada sang Teos, Keindahan adalah pancaran dari Kebenaran (Sang Teos) , Pulchrum spendor est veritatis.

 

Pendapat para pakar bahwa estetika dalam arsitektur, hadir dengan sendirinya karena arsitektur dirancang atas dasar Kebenaran. Yang benar itulah yang estetis, membawa kita kearah alam pikir dengan Ontologi Anthroposentris Modernis. Kebenaran adalah kebenaran Fungsional. Kebenaran adalah Kebergunaan. Disini pemahaman Pragmatisme Utilitarian mewarnai konsep Estetika ini. Lahirlah kemudian jargon Form follows Function dari Louis Sullivan yang kemudian menjadi Kebenaran Tunggal, Meta-narrative ala Modernisme yang mendunia. Mereka menamakannya Kebenaran Universal.

Bertolak dari sini perenungan kita perlu mencermati pembahasan tentang ketiga buah pikir yang membahas tentang : Estetika, kebenaran dan Arsitektur, serta penerapannya dalam etika berarsitektur dalam suatu jalinan konteks yang tidak sezaman.

 

Postmodernisme :

 

Postmodernisme lahir tahun 1970an dan berangkat sebagai anti-thesis dari Modernisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Estetika Postmodern lebih menekankan dampak dari suatu karya seni, ketimbang pengartian dari suatu karya seni, Lebih menekankan pada sensasi yang terjadi dari suatu karya seni ketimbang interpretasinya[5]. Estetika Postmodern kemudian berkembang tidak lagi hanya berbicara  tentang Keindahan saja. [6]

 

 

 

 

Postmodernisme dan etika ber-estetika dalam ber-arsitektur

Dalam konteks Postmodern yang Plural, anti Meta-narrative, nuansa Incommensurabality, the Different language game, adalah lebih tepat apabila kita menyerahkan konsep Estetika kepada masing-masing kubu dengan pemahamannya masing-masing. Etika ber-estetika dalam ber-arsitektur lalu menjadi milik masing-masing pemeran arsitektur, baik perancang, pembuat maupun penikmat dan pengguna arsitektur itu. Kita akan menghargai konsep etika masing-masing karena Incommensurable alias tak dapat diperbandingkan, sekadar berbeda saja.

 

 

Bacaan :

 

Cahoone, E. Lawrence, (ed.al) From Modernism to Postmodernism, an Anthology, Blackwell, Oxford, 1996.

Connor, Steven, Postmodernist Culture, an Introduction of Theories of the Contemporary, Blackwell Publisher, Oxford, UK, 1992.

Eagleton, Terry, The illusion of Postmodernism, Blackwell, Oxford, 1997.

Goldberger, Paul, On the Rise, architecture & design in a Postmodern age. Penguin Books New York, 1985.

Jencks, Charles, The Language of postmodern Architecture, 6th  revised Edition, 1991, Academy Edition, New York.

Klotz, Heinrich, The History of Postmodern Architecture, M.I.T. 1988,

Leach, Neil, Rethinking Architecture, Routledge New York, 1999.

Lyotard, Jean Francois, The Postmodern Condition, a report on knowledge. University Press, Manchester, 1989.

Portogeshi, Paolo, Postmodern, the Architecture of the Post Industrial Society,  1983.

Rader, Melvin, A modern book of Esthetics, Holt, Renehart & Winston, Washington, 1973.

Silverman, Hugh, Postmodernism-Philosophy and the Arts, Routledge, New York & London, 1990.

Soesilo, Rudyanto, Arsitektur Postmodern berwawasan Jatidiri. Suara Merdeka, Nop 1988. s

Soesilo, Rudyanto, Postmodern Architecture, an Opportunity to Culture Sustainability in Architecture. Presented for the International Conference: Culture Sustainability in Architecture, Petra University, Surabaya,  2007 

Soesilo, Rudyanto, Introducing the philosophy of Postmodernism in architectural education, Presented for the International Conference: “Challenges and experiences in developing Architectural education in Asia”, June 8 – 10, 2007 .

Soesilo, Rudyanto, Paradigma Postmodern dalam Pendidikan Arsitektur, disajikan pada Seminar Nasional “Pendikan Arsitektur Manajemen Studio, menuju Dunia Arsitektur Profesional”. Universitas Udayana.Oktober 2008.

Soesilo, Rudyanto, Postmodernism as a way to conserve the Indonesian culture on facing the Globalization , Presented for the International Seminar: “Culture, English language, Teaching & Literature”, January 16 – 17, 2008 .

Soesilo, Rudyanto, Pergolakan pemikiran umat manusia, makalah Kuliah umum Pascasarjana Unika Soegijapranata, September 2008.

Soesilo, Rudyanto, Postmodernism and Postmodern Architecture. Dalam Proceeding Seminar “Multi dimentional Architect”, 9 Juni 2009, Undip Semarang.

Suparno, Paul, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius, 1997, Yogyakarta.

 

 



  • ·        Penulis, A. Rudyanto Soesilo, Unika Soegijapranata, Semarang., email : [email protected]

[1] Melvin Rader, h1

 

[2] Beauty is not judged objectively, but according to the beholder's estimation., for in the eyes of love that which is not beautiful often seems beautiful. 1742 Hume Essays Moral & Political II. 151 Beauty, properly speaking, in the Sentiment or Taste of the Reader.

"Beauty is in the eye of the beholder" means that beauty is entirely subjective, one may see beauty where another does not.

[3] lihat “Pergolakan Pemikiran umat manusia” ., Soesilo Rudyanto, 2008.

[4] Lihat diagram “Pergolakan Pemikiran umat manusia”

[5] Postmodern aesthetics is marked by an emphasis of the figural over the discursive. What this means is that postmodernism values the impact of art over the meaning of art, and the sensation of art over the interpretation of it. Such an emphasis on the impact of art relates well to Heidegger's wish to hear words as if for the first time, to "let their elementary forces" rise through. Such postmodern preferences, however, were first notably articulated by art critic Susan Sontag in the mid 1960's. Sontag claimed that modernism's favoring of the "intellect" in art, came "at the expense of energy and sensual capability" (quoted in Lash, 176). Again, this relates well to our discussion of Heidegger, who saw philosophy not as a means to learn anything more about being, but just to experience it, time and time again. Sontag believed that interpretation was "the revenge of the intellect upon art," and that a work of art should not be a "text," but rather another "sensory" product in the world (176). This focus of art as a "sensory" experience over and above an intellectual experience, led the way for postmodernism to favor the image over the narrative and the figural over the discursive (i.e. don't tell me about how happy you were, show me! don't tell me how brutal it was, show me!)

 

[6]

A last point to make here, is that postmodernism no longer equates aesthetic value with beauty. What Lyotard sugggests instead, is an aesthetic of the sublime. Lyotard views the sublime as being a mixture of pleasure and pain, of pathos and grit, of sweetness and sin, of the cute and of the dirt. It's aim, Lyotard claims, is to "present the unpresentable" to find religion in the streets not in the Church (as quoted in Lash, 110). This aesthetic of the sublime, which transcends moral categories like "that feeling is good, that feeling is bad, that smells good, that smells bad, that looks nice, that looks bad," epitomizes the de-differentation which marks postmodernism, which in the words of John Cage, "aims to wake up to the very life we're living" and which in the words of Leslie Fiedler, "attempts to cross the border, close the gap." This means, explains Marshall Berman, breaking down the barriers between art and other human activities, such as commercial entertainment, industrial technology, fashion and design, and politics" (Berman, 32).

Keywords: Etika, estetika, Postmodern, arsitektur

Share :
     
A. RUDYANTO SOESILO

About me :

Foto Pidato Lustrum I UnikaPidato Dies Natalis XXIX, 5 Agustus 2011Presenting Unity in Diversity ConservationCertificate of the Best paper AwardPembicara utama Seminar Arsitektur PopulisWebinar pembukan Program Doktor Arsitektur Digital

 

  Facebook account

Untuk para pengagum kehidupan, pemikiran, seni, musik dan arsitektur yang berkarya, belajar, mengagumi, mencintai dan ingin menyemaikan nya.

 :

Dr.Ir.A.Rudyanto Soesilo MSA

Lecturer - Architect - Composer 

 :

 :

NB: bila anda membuka blog ini, beri koment n alamat email anda agar dapat berdiskusi, Nuwun